Bantu Kampanye Damai, BPNB Produksi Film Dokumenter

SULUTHEBAT.COM, Tondano – Nampaknya dunia perfilman Sulut sedang naik daun. Terbukti dengan hampir tuntasnya pembuatan film dokumenter “Ramadhan di Jaton”, produksi Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Manado, Wilayah kerja Suluttenggo.
Film yang disutradarai oleh Jeffry Luntungan dengan Yohanes Reart sebagai juru kamera ini menjadikan tokoh-tokoh muslim Jaton seperti Prof. Ishak Pulukadang, Wahid Koesasi, Pak Imam Masjid Al-Falah: Ahmad Kyai Demak sebagai narasumbernya.
Kamajaya Al Katuuk berharap seniman dari Sulut mempunyai kader yang berdedikasi dan bertalenta yang pantas untuk dapat mengembangkan seni.
“Besar harapan seniman dari Sulut sekarang telah memiliki kader yang berdedikasi dan bertalenta yang pantas diharapkan dapat mengembangkan seni yang berkualitas dan berkarakter,” kata pria yang berprofesi sebagai dosen di Unima ini pada Senin (3/7/2017) di dinding akun facebook-nya..
Di tempat yang berbeda namun di waktu yang nyaris bersamaan, Achi Breyvi Talanggai sebagai asisten sutradara, mengatakan bahwa film itu untuk mengangkat tradisi ramadhan yang unik di kampung Jawa Tondano (Jaton). Dia berharap film ini dapat membuka mata dunia, khususnya Indonesia yang kerap disoalkan dengan SARA yang mendikotomi mayoritas dan minoritas, yang sebetulnya bukan persoalan keyakinan tapi kepentingan politis.
“Harapannya Indonesia melihat ke Jaton, Minahasa. Ada 100 persen di kampung Jaton yang memeluk Islam. Mereka hidup dengan tradisi dan filosofi keminahasaan bahwa torang semua basudara. Semoga Jaton menjadi contoh bagi Sulut dan Minahasa juga dunia,” papar pria yang tercatat sebagai mahasiswa pascasarjana di Ukit itu ketika dihubungi melalui messanger.
Senada dengan itu Kamajaya mengatakan, selebihnya kepada segenap warga Jaton, semoga film ini akan memberi peneguhan dan dorongan untuk tetap menjaga identitas diri dengan cara melestarikannya, tanpa harus ketinggalan zaman.
Walaupun kesuksesan sudah di depan mata, tapi bukan berarti tidak ada tantangan yang ditemui dalam pembuatan film ini.
“Yang paling menantang adalah bagaimana harus men-direct orang orang dari latar belakang profesi berbeda, tanpa pengalaman akting. Khususnya lagi mengatur tokoh-penting di Jaton dalam proses pengambilan gambar. Begitu juga dengan Takbiran.Tim harus siap dengan segala konsekuensi kehilangan momen atau mendapatkan momen,” kata pria yang juga pernah menjadi ketua Theater Club Unsrat tersebut.
Namun Talagai bersyukur karena segala kebutuhan pengambilan gambar yang menjadi target dapat tercapai dengan baik dan maksimal. Semua itu karena semata mata, aktivitas mereka di Jaton sangat di-support oleh seluruh komponen yang ada di jaton, dan tidak hanya support, mereka juga begitu antusias memberikan energi. (iswan)