November 28, 2023
Lukisan Bataha Santiago. Foto: (ist)

Oleh: Iswan Sual

Nyaris setiap hari aku melewati markas Korem 131/Santiago Sulut. Lokasinya pas di depan Rumah Sakit Siloam Manado, Sulut. Namun, dahulu markas militer itu tak sedikit pun mendorong rasa ingin tahuku lebih jauh kenapa ia diberi nama ‘Santiago’. Ada yang berubah ketika aku menghabiskan sepekan waktuku di kota Tahuna Kabupaten Kepulauan Sangihe tempo hari.

Memang kepulauan Sangihe tak diragukan keindahan alamnya. Tapi bagaimana dengan tokoh-tokoh sejarah? Adakah? Pertanyaan itu terjawab ketika seorang teman kuliahku dulu mengajakku berkeliling pulau Sangihe. Sempat singgah sebentar di rumah seorang tokoh masyarakat di desa Manganitu. Lalu, berceritalah ia tentang seorang bernama Bataha Santiago. Santiago? Aku rasa pernah lihat nama itu itu di suatu tempat. Kataku dalam hati kala itu. Aha! Tak salah lagi. Mataku selalu bertemu dia di Manado.

Bataha Santiago adalah raja ketiga kerajaan Manganitu. Don Jugov (Jogolov) Sint Santiago adalah nama lengkapnya. Bataha berarti sakti.  Dia terlahir di desa Bowongtiwo-Kauhis, Manganitu pada tahun 1622. Terus, apa yang menarik dari cerita tentang dia?

Ia merupakan satu-satunya raja di kepulauan Sangihe yang keras kepala dan menolak menandatangani perjanjian dagang dengan VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) Belanda. Dia disekolahkan oleh ayahnya di Universitas Santo Thomas Manila, Filipina pada tahun 1666. Saat itu dia sudah berumur 44 tahun.  Dia menyelesaikan kuliahnya empat tahun kemudian. Sepulangnya dari Filipina, dia lalu dinobatkan sebagai raja di kerajaan Manganitu. Cuma lima tahun ia memegang tampuk kekuasaan.

Lalu, kenapa akhirnya dia membenci bangsa Barat? Santiago mengenal banyak tentang ambisi bangsa Barat datang ke Timur sewaktu ia mencari ilmu di Filipina. Dia menyimpulkan bahwa nusantara tengah dipelakukan semena-mena oleh bangsa Barat. “Kita bukan teman orang Spanyol, juga bukan sahabat VOC Belanda, mereka hanya ingin mengambil hasil bumi kita,” tuturnya pada suatu waktu kepada seluruh rakyatnya.

VOC  beberapa kali memaksa Santiago untuk menandatangani kontrak panjang (Lange Contract). Dia menolaknya dan mengumandangkan perang terhadap VOC. Isi Lange Contract yang ia tolak Santiago antara lain adalah instruksi untuk melenyapkan tanaman cengkih dan semua benda yang dianggap kafir oleh VOC. Mereka memanfaatkan sultan Kaitjil Sibori, anak sultan Mandarsyah, untuk membujuk Santiago supaya menandatangai kontrak. Namun Santiago tetap tidak mau menandatanganinya. Sultan Kaitjil Sibori pulang ke daerahnya tanpa hasil. VOC kecewa dan marah. Santiago pun telah siap dengan segala akibatnya.

Kalimatnya yang terkenal yang disampaikan ketika ia mengumpulkan para pejabat kerajaan dan semua pihak yang terkait maupun yang akan melibatkan diri melawan VOC adalah “I kite mendiahi wuntuang ‘u seke, nusa kumbahang katumpaeng.” Kalimat itu berarti kita harus menyiapkan pasukan perang, negeri kita jangan dimasuki musuh.

VOC lalu mengutus Sultan Kaitjil Sibori ke Sangihe untuk mempersunting Maimuna, putri raja VI Tabukan, supaya VOC dan sekutunya masuk ke Sangihe. Pasukan VOC dan pasukan kerajaan Manganitu yang dipimpin oleh Santiago berperang di laut berhari-hari. Korban jatuh dari kedua belah pihak sangat banyak. VOC mundur dan menghentikan perang yang sengit itu karena kerugian yang besar.

VOC kemudian memanfaatkan Sasebohe dan Bawohanggima, sahabat dekat Santiago, agar menyerah namun gagal. Pertempuran antara VOC dan pasukan Santiago terjadi lagi. Sasebohe dan Bawohanggima membujuk Santiago terus. Tapi dia berhasil dibawa VOC ke kantornya di Tahuna. Dipaksa lagi untuk menandatangani kontrak. Namun Santiago tetap memegang teguh prinsipnya. VOC menyiapkan satu tim tembak. Mereka menembak. Tapi tidak ada satu pun peluru berhasil melukai tubuh Santiago. Mereka takut dan heran, lalu membawa Santiago ke tanjung Tahuna dan menggantungnya.

Sultan Kaitjil Sibori tidak yakin tubuh Santiago yang tak ditembus peluru, boleh tewas dengan tali. Diperintahkannya salah seorang anggota pasukannya untuk memenggal kepala Santiago.

Sebelum subuh tiba, adik Santiago yang bernama Sapela, datang mengambil jenasah saudarah tuanya. Ia hanya bisa membawa kepala Santiago dan menguburkannya di antara akar pepohonan besar, beberapa meter di atas pantai dan menandai tempat itu dengan tumpukan batu di Nento di desa Karatung-Paghul pada 1675. Kubur kepala Santiago yang dirahasiakan terungkap pada tahun 1950. Sedangkan tubuhnya diduga dikuburkan di tempat ia dihukum mati, di kelurahan Santiago saat ini.

Sebagai wujud penghargaan  dia diabadikan dalam bentuk patung di Miangas di daerah perbatasan antara Indonesia dan Filipina. Namanya juga diabadikan sebagai nama markas Kodim 1301/Sangihe dan Korem 131 provinsi Sulawesi Utara.

Meski tubuhnya telah tiada namun namanya kekal. Cerita tentang semangat perlawanan Bataha Santiago terhadap ketidakadilan tetap abadi hingga kini. Bukan hanya di hati orang Manganitu, Sangihe. Tapi juga di hatiku. Sebelum beranjak, aku dan temanku sempatkan diri untuk mencabut rumput-rumput liar di sekitar makam kepala Santiago. Lalu, aku memandang ke arah laut dan membayangkan keberaniannya melawan penjajah.(Is)

Sumber: Tuturan beberapa orang di Tahuna dan Manganitu dan sumber tertulis yang pernah dibaca.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *