Maret 29, 2023
Rumengkom (makan bersama)

Oleh: Iswan Sual

Meski kita sudah hidup di dunia yang sudah sangat canggih tapi tetap saja masih besar kerinduan bernostalgia dengan masa lalu. Masa dimana pendahulu kita masih petani dan semuanya serba simple dan tradisional. That’s why, lagu berjudul Kota Manado tetap populer hingga kini.

Memang, untuk biasakan ulang semua orang Manado ke kebun rasanya “sudah tak mungkin” di zaman sekarang. Tak diragukan ini adalah konsekuensi dari perkembangan IPTEK yang super cepat. Padahal daerah Sulut adalah daerah dengan potensi pertanian yang berkontribusi besar dalam mengharumkan nama Sulut di pasaran dunia, sebut saja cengkeh, kopra, pala dan lainnya. So, sayang sekali bidang pertanian sudah kurang dilirik.

But, ngoni tau nyanda? Ternyata, tak demikian halnya dengan keluarga Kapahang-Rolangon. Meski keluarga ini umumnya sudah tinggal di kota, dua kali setahun (Januari dan Juli) mereka lakukan family gathering (temu keluarga) di kebun. Mantap! Tentu rasa cinta akan pontensi pertanian bisa pula tumbuh dengan cara ini. Apalagi, kebun menyuguhkan pemandanganhijau alam yang indah.

Di dinding media sosial Agustien Kaunang di-posting,“Hari ini piknik keluarga kakak-adik di kebun Rasi-Ratahan. Ada nasi bungkus, ayam kampung masak di bulu/bambu, ayam rica-rica, sayur campur ikan mujair masak di bulu, ada ikan bakar en dabu-dabu. Makan di atas daun pisang, langsung pake tangan.”

Saking penasarannya awak media suluthebat.com lempar tanya di inbox pemilik akun media sosial tersebut soal alasan keluarga ini memilih kebun sebagai tempat pertemuan. Ini jawaban dari Kaunang, yang berafiliasi dengan Perhimpunan Sekolah-Sekolah Teologi di Indonesia (PERSETIA) sejak 2006 ini.

Karena di kobong torang boleh sekaligus pi lia tu kobong. Ada daun nasi, ada yang piara ayam, ada telaga deng sayor. Samua kakak-adek bakudapa. Torang dari Tomohon, tu ade satu, yang pdt. di GMIBM lei datang. Yang laeng di kampung jo. Torang pindah-pindah. Tapi tu tampa ini amper salalu karena ada telaga. Di kobong torang momasa sama-sama, bacirita, dan anak2 kecil bermain di aer, ada yang pi momaras sadiki pa dia pe kobong dekat di situ. Kong bafoto-foto katu’e ,” ujar Kaunang, seorang pendeta dan dosen Fakultas Teologi Ukit ini.

Selanjutnya, Kaunang mengatakan, arti penting mereka bertemu adalah supaya rasa persaudaraan tetap terjaga, anak selalu ingat orang tua. Di samping itu, ada kesempatan  bagi orang tua untuk memberi nasihat kepada anak cucu agar saling menyayangi, merindukan dan menolong.

Dengan acara rupa ini, torang jaga terus tu basudara, salalu inga orangtua kita dan torangg kase inga pa anak cucu tu baku2 sayang, baku2 inga, baku2 tolong. Tentu diharapkan terus berlanjut sampe tu cucu-cece atau pa masing-masing pe taranak nanti. Anak-cucu tantu senang2 saja, dorang boleh bakudapa dengn sudara dari jao, baku gara, ada yang babacubi karena gemes….hehehe,” kata Kaunang yang pernah menjadi anggota Board of Trustees ATESEA ini.(Is)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *