Marianne Katoppo, Menduniakan Minahasa Lewat Sastra dan Teologi
Lebih dikenal dengan nama Marianne Katoppo di dunia sastra dan teologi. Nama lengkapnya adalah Henrietta Marianne Katoppo. Anak bungsu ini lahir pada Juni 1943 di tanah Minahasa. Persisnya di Tomohon, Sulawesi Utara. Sudah berkisar 74 tahun lalu.
Ayah bernama Elvianus Katoppo dan ibunya bernama Agnes Rumokoij. Kedua orangtuanya itu sama-sama berasal dari Minahasa. Mereka mendukung kesetaraan jender dan hidup dalam budaya yang cenderung kebarat-baratan. Ini menjadikan Marianne ikut terlibat dalam dunia sastra dan isu-isu kemanusiaan sejak masa kecil.
Tambah lagi, ayahnya adalah Menteri Pendidikan di Negara Indonesia Timur pada masa Republik Indonesia Serikat. Dialah yang memperkenalkan kepada Marianne pemikiran mandiri serta perspektif sejarah. Beliau sendiri pula merupakan salah satu tokoh pendiri Universitas Kristen Indonesia di Jakarta dan Lembaga Alkitab Indonesia pada tahun 1954.
Marianne Katoppo telah mulai aktif menulis sejak usia 8 tahun. Mungkin masih terlalu dini untuk anak seusianya. Karya perdananya dipublikasikan dalam rubrik anak-anak surat kabar berbahasa Belanda, Nieuwsgier, di Jakarta.
Bahkan di tahun 1960-an, Marianne telah menulis beberapa cerpen untuk surat kabar Sinar Harapan dan majalah bulanan Ragi Buana. Karyanya yang berjudul Raumanen memperoleh penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 1975. Novel ini diterbitkan kembali pada 2006 oleh Penerbit Metafor.
Novel lainnya: “Dunia Tak Bermusim” (1974), “Anggrek Tak Pernah Berdusta” (1977), “Terbangnya Punai” (1978), “Rumah di Atas Jembatan” (1981).
Katoppo menyelesaikan studi teologinya pada 1963 di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta dengan gelar Sarjana Muda Theologia. Di Tahun 1977 ia pula menuntaskan Sarjana Teologia di kampus yang sama. Pada tahun 1978 ia mengikuti pendidikan di Institut Ekumenis, di Bossey, Swiss, dan berhasil menggondol gelar theol.lic. pada tahun 1992.
Karena buku karyanya yang berjudul “Compassionate and Free: An Asian Woman’s Theology” (1979) ia disebut teolog feminis pertama di Indonesia sekaligus Asia.
Buku itu telah disalin ke dalam bahasa Belanda, Jerman, Swedia dan Tagalog. Bahkan dimanfaatkan sebagai buku ajar di lembaga pendidikan teologi dan seminari di berbagai negara.
Katoppo tercatat pernah menjadi anggota pendiri dan mantan Koordinator Ecumenical Association of Third World Theologians (EATWOT) Indonesia (1982), Forum Demokrasi (1991), Kelompok HATI (1980), International Council WCRP. Pernah pula duduk sebagai salah satu anggota dari Majelis Pekerja Harian Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI).
Di tahun 1995 ia dipercaya mewakili sastra dunia dari Indonesia yang dikenal dengan nama Pramoedya Ananta Toer untuk menerima Penghargaan Magsaysay di Manila, Filipina.
Selain itu, ia berbicara banyak mewakili perempuan yang tertindas dan ditindas. Teologi Katoppo mengalir dari perenungannya sebagai seorang perempuan kristiani Asia yang mengakui ulang identitasnya sebagai ciptaan yang merdeka dan yang menanggapi panggilan Allah untuk peduli terhadap pribadi lain yang diterpa penderitaan dan kemalangan.
Bagi Katoppo, kebebasan adalah sesuatu yang dekat dengan belas kasih. Dan seharusnya juga digunakan untuk membebaskan individu lainnya. Hal itu digambarkan oleh tokoh Amanda dalam novel karyanya berjudul “Terbangnya Punai”.
Sosok perempuan dalam karya-karyanya, senantiasa menjadi karakter utama dan pusat pergumulan, dengan idealisme serta pemikiran mereka yang terkadang tak mudah dipahami bahkan disalahpahami oleh pembacanya.
Ia kemudian mengambil kembali makna asli dari kata “perempuan”, yang berarti pribadi, dengan tidak lagi menggunakan kata wanita. Dalam novel “Terbangnya Punai” (1978), Marriane menyatakan dengan jelas bahwa memanggil seseorang dengan nama yang benar berarti menghormati kemanusiaan orang tersebut.
Dengan memulihkan makna asli dari kata “perempuan”, Marianne Katoppo berusaha melucuti mitos tentang wanita yang diciptakan oleh masyarakat yang bersifat patriarki. Wanita sendiri mengandung makna “aroma”, yang menjadikan posisi wanita sebagai objek, dalam konotasi yang negatif. Sementara, menjadi “seorang perempuan” berarti menjadi pribadi yang “ada” dengan hak yang sama. Tak bedanya dengan laki-laki.
Katoppo menghembuskan nafas terakhir pada 12 Oktober 2007 di Bogor, di samping kakaknya, Pericles Katoppo. Jenazah Marianne dikremasi13 Oktober 2007 di Krematorium Oasis, Tangerang.
Meski jasadnya telah tiada, buah pemikiran dan karyanya masih tetap hidup dalam benak dan hati banyak orang. Buku-bukunya masih terus dibaca oleh perempuan, sastrawan dan teolog. Bahkan orang awam seperti saya sekalipun. Dia akan terus abadi entah hingga kapan.
Referensi:
Diambil dari berbagai sumber.