SANG KRITIK
(Esai Budaya Demokrasi)
oleh
Swadi Sual
I. KRITIK ANTI-KRITIK
Kritik bukanlah sesuatu yang lain tetapi upaya memperlihatkan sisi gelap, negativitas, kelemahan, kesalahan, dan keburukan; itulah keseluruhan dan kesejatian kritik. Positivitas dari kritik adalah negativitasnya jika ada kedewasaan introspeksi yang benar dari sasaran kritik. Oleh karena upaya memperlihatkan keburukan dari sesuatu adalah pengungkapan kebenaran menuju kesempurnaan. Sang kritik selalu melihat kegelapan dari segala sesuatu dan itulah tugasnya.
Sang anti-kritik mengecam kritik sebagai tindakan penghancuran (destruktif) dan meminta ‘kritik yang membangun’[1]. Padahal kritik memang tidak berfungsi membangun karena ia bukanlah suatu rekomendasi. Sang kritik hanya memperlihatkan sisi buruk atau kesalahan yang harus ditepis atau dijadikan bahan evaluasi supaya tidak terulang atau terus dipakai. Objek kritik yang harus melakukan retrospeksi (kritik oto-kritik) dan tidak harus mengikutsertakan sang kritik. Objek kritik adalah manusia (pribadi atau kelompok masyarakat), kekuasaan, sistem, nilai, atau sesuatu yang lain.
Jika harus maka kita harus membagi kritik dalam dua wilayah, yaitu: kritik sosial dan kritik alam. 1) Kritik alam. Sejarah peradaban manusia salah satunya adalah usaha untuk menaklukkan alam. Alam menyediakan manusia makanan, minuman, dan segala keperluannya tapi di sisi lain alam juga adalah ancaman bagi keberadaannya. Manusia harus berupaya melihat sisi-sisi buruk dari alam untuk bertahan hidup. Melakukan identifikasi terhadap sesuatu yang beracun dan menghindarinya; ketidakstabilan temperatur cuaca dapat mempengaruhi suhu tubuh manusia; musim kemarau dan hujan yang terlalu panjang dapat berakibat buruk juga bagi manusia. Setelah membuat kritik terhadap alam lewat analisa dan studi-studi ilmiah manusia kemudian bisa terhindar dari negativitasnya dan bahkan dapat mengendalikannya. 2) Kritik sosial. Kumpulan manusia yang menetap melahirkan kebudayaan dan kritik tetap hadir di tengah-tengahnya. Kritik sosial merupakan induk dari kritik budaya (berkaitan dengan nilai dan perilaku kolektif), kritik individu (yang kemudian berkembang dalam ilmu psikologi), kritik ekonomi, kritik politik, kritik seni, kritik sastra, dan lain sebagainya.
Wacana kritik kita akan dibatasi pada wilayah kritik sosial yang memiliki oposisinya yaitu sang anti kritik. Ada kateluan[2] (tiga serangkai) yang saling mempengaruhi dalam dialektika tradisi kritis; kritik – anti-kritik – sinkritik. Kehadiran kritik adalah upaya pengungkapan mengenai suatu kesalahan atau keburukan dan anti-kritik berusaha menutupinya untuk menyelamatkan citra positivitasnya atau penyelamatan kekuasaan. Sang kritik (subjek) merupakan duri bagi para anti-kritik (objek) dan menyemai sinkritik (SnK = K + AnK; K – Ank – Snk). Dalam sejarah politik kekuasaan sebuah pergolakan akan melahirkan sebuah kekuasaan baru yang telah belajar dari kritik rejim sebelumnya dan sekaligus menjadi cikal bakal dari kritik yang baru. Indonesia di masa rejim Soekarno melahirkan kritik terhadap kekuasaannya; apakah itu soal kebijakan politik, kebijakan ekonomi, maupun segala konsepsi-konsepsi yang dibuatnya di masa itu. Sebagai kekuasaan anti-kritik maka semua kritik harus diberangus tetapi kemenangan sang kritik melahirkan rejim Orde Baru yang menjadi kekuasaan diktator (anti-kritik) yang juga menyemai kritik baru dan melahirkan Era Reformasi sampai Revolusi Mental.
Media sosial dalam Era Teknologi Moden membuka ruang demokrasi yang sebesar-besarnya dan hampir tak terkendalikan dengan berkecambahnya banyak kritik baru. Sehingga menjadi relevan pernyataan kritik bahwa demokrasi adalah ruang untuk mendengarkan opini-opini bodoh. Ada sebuah karikatur kritik yang menggambarkan Facebook mencetak penggunanya (warga negara dunia maya: netizen) menjadi hakim terhadap segala macam persoalan. Tetapi konsekuensi logis dari demokrasi adalah kebebasan untuk mengemukakan pendapat walau pendapat bodoh sekalipun. Liberalisme, demokrasi, dan individualisme adalah kritik yang hadir dari sistem sosial monarki/oligarki diktator yang mengabaikan individu demi kolektivitas[3]. Wacana liberalisme dan individualisme adalah sinkritik dan secara otomatis menjadi objek kritik yang baru.
Sebelum kita beralih ke budaya kritik baiknya ada istilah-istilah yang perlu diredefinisi untuk menghindari ketidaksepahaman. Kata kritik sudah didefinisikan dari awal bahwa kehadirannya adalah untuk mengungkap sisi buruk, kelemahan, kesalahan, dan negatvitas lainnya. Sehingga sangat mungkin berlainan dengan definisi leksikal (dictionary) kamus. Kita mungkin paling dekat akan menggunakan definisi kritik sastra sebagai upaya melihat kelemahan dan keburukan dari karya sastra. Dalam dunia sastra ada istilah resensi dan apresiasi yang cenderung pada sisi positivitas karya sastra. Satu hal yang menarik adalah ambiguitas kata ‘kritis’ yang digunakan dalam istilah medis dan filosofi. Dalam istilah medis, pasien kritis adalah kondisi seseorang yang hampir mati; itu artinya dalam keadaan yang buruk atau sangat lemah. Tetapi dalam istilah filsafat, orang yang kritis adalah mereka yang memiliki daya atau kemampuan melihat sisi buruk atau kesalahan dari sesuatu.
II. BUDAYA KRITIK
Pentingnya budaya kritik adalah untuk memajukan peradaban manusia yang terbebas dari kesalahan yang berulang-ulang. Dalam perjalanan menuju kesempurnaan kritik harus menjadi satelit yang mengorbit. Masyarakat yang menyadari pentingnya kritik adalah masyarakat yang bergerak maju. Banyak hal yang disempurnakan dari kritik termasuk perkembangan masyarakat itu sendiri. Kritik terhadap perbudakan, strata klas sosial, diskriminasi kulit berwarna dan jender menjadi landasan perwujudan masyarakat yang menjunjung tinggi hak-hak asasi semua manusia tanpa kecuali.
Kritik adalah niscaya tapi kehadiran anti-kritik adalah bendungan sementara yang menahan arus derasnya. Sejarah telah menunjukan pada kita di mana perubahan sosial besar adalah munculnya sang kritik. Itu berlaku untuk semua bidang dalam kebudayaan manusia yang pernah dicatat. Perubahan sistem sosial dan sistem politik ketika manusia-manusia kritis melihat sisi buruknya. Kekuasaan Gereja Abad Pertengahan di Eropa yang mutlak sekaligus anti-kritik membuat banyak kesalahan dan pada akhirnya ketika sang kritik hadir membeberkan dalil-dalil kesalahan gereja maka dimulailah babak baru sejarah manusia. Gerakan Reformasi melahirkan Gereja Protestan dan Gerakan Anabaptis yang belakangan disebut karismatik. Sesudah terbukanya gerbang kebebasan terutama dalam tradisi berpikir maka mulailah juga zaman anti-kristus; suatu masa kritik terhadap agama (kristen)[4] yang melahirkan gerakan-gerakan kebebasan yang ekstrem. Friedrich Nietzsche memproklamirkan kematian tuhan dalam bukunya Zarathustra[5] dan berusaha menawarkan budaya baru merombak tradisi kekristenan yang melekat pada masyarakat Eropa. Tumbuhnya protestanisme, hadirnya mesin uap (Revolusi Industri), dan Revolusi Prancis adalah cikal bakal kapitalisme yang menjadi objek kritik sampai hari ini. Marxisme adalah kritik baru terhadap sinkritik ini.
Dalam perjalanan panjang budaya kritik akhirnya kritik dalam masyarakat Eropa mendapat tempat yang layak sebagai suatu keniscayaan. Keperluaan terhadap kritik tentunya adalah upaya penyempurnaan. Dalam tradisi filsafat, ilmiah, dan ekonomi kritik hadir untuk lebih mengembangkan produk baik materil dan non-materil. Untuk wilayah filsafat dan ilmiah kritik sangatlah lumrah. Kita ambil contoh soal filsafat ada Socrates, Plato, dan Aristoteles; di bidang fisika ada Newton, Einstein, dan Hawking. Lalu bagaimana soal ekonomi? Produk teknologi mesin harus diuji kelayakan terlebih dahulu untuk mencari tahu tentang kelemahan dan efek-efek negatifnya sebelum dipasarkan. Makanan dan minuman harus diuji oleh suatu badan hukum terlebih dahulu sebelum dikonsumsi publik, misalnya di Indonesia ada Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sebagai badan yang didirikan terkait dengan Undang-Undang Perlindungan Hak Konsumen. Kapitalisme sebagai pendukung liberalisme, demokrasi, dan individualisme menggunakan kritik untuk mempertahankan keberadaannya. Tanpa kritik, kapitalisme akan cepat hancur dengan sendirinya. Marxisme sebagai sang kritik dipertahankan dalam masyarakat Eropa untuk praktek ekonomi yang tetap humanis[6]. Pengaruh kritik marxis memaksa pengurangan jam kerja, kelayakan kondisi kerja, tunjangan kesehatan, dan segala hal yang bersifat eksploitatif lainnya. Kebebasan kritik politik pun adalah upaya agar pemerintah menghindari kesalahan dalam mengambil kebijakan.
Pengalaman kolektif yang traumatik di Indonesia karena rejim Orde Baru membuat budaya kritik belum berkembang dan dikendalikan sebaiknya. Tapi dalam pengertian yang paling sederhana budaya kritik di Indonesia tetap ada. Istilah Karlota[7] adalah tradisi berkumpulnya ibu-ibu yang bertetangga dan membicarakan keburukan-keburukan orang lain sehingga memicu perkelahian sesama wanita atau merembet ke masalah serius lainnya. Tentunya kemampuan kritis ibu-ibu ini banyak kali dipicu oleh kecemburuan dan banyak prasangka lainnya. Pada abad-18 Habermas menggambarkan bahwa rumah kopi di Inggris adalah awal mula ruang publik di mana orang sambil menikmati kopi bertukar informasi tentang perdagangan sekaligus berbicara soal kritik politik[8]. Revolusi Prancis yang menumbangkan feodalisme di Prancis menjadi momok untuk kerajaan-kerajaan yang masih berdiri tegak di Eropa. Adanya ketakutan Revolusi Prancis akan diekspor ke tetangga-tetangganya.
Ada phobia kritik di Indonesia terutama di wilayah kekuasaan politik oleh karena kecenderungan untuk menyembunyikan kejahatan-kejahatan kekuasaan. Sang anti-kritik memang dengan sengaja membuat tameng pelindung agar segala keburukan, kesalahan, dan kejahatannya tidak terungkap. Korupsi, kolusi, nepostisme sengaja dibudidayakan demi hal yang paling utama yang bisa membeli segalanya; uang. Ketika pemerintah di Indonesia dikritik maka mereka selalu membuat jargon alibi seperti ‘kritik membangun’ untuk mendiskreditkan sang kritik. Politik pencitraan adalah upaya menutupi semua negativitas walaupun pencitraan itu sendiri sudah mengandung negativitas. Mereka membuat simulasi-simulasi, citra-citra baik sehingga orang-orang dikelabui supaya tidak bisa melihat keburukan, kesalahan, dan kejahatan di balik semua kebaikan yang mereka perbuat. Dalam wacana sosial ada istilah ruang publik dan ruang privat yang membedakan tingkah laku dan perlakuan manusia. Kejahatan-kejahatan birokrasi seperti korupsi tidak dilakukan di ruang publik tapi dalam ruang-ruang privat seperti orang melakukan kegiatan sex. Para politisi sering mengatakan itu pembicaraan ‘stengah kamar’ yang artinya hanya segelintir orang yang bisa tahu.
Sang anti-kritik kebanyakan menolak kritik karena ketidakmampuan untuk memecahkan masalah. Misalnya, efek negatif dari kebijakan politik yang hanya dijiplak dan tidak sesuai dengan kondisi masyarakat. Apakah itu soal perundang-undangan atau kebijakan politik ekonomi lainnya. Kehadirian kritik akan membuat para anti-kritik bingung dan tak ada kata lain selain mengatakan bahwa harusnya ‘kritik membangun’. Padahal tugas para pemegang jabatanlah yang harus mencari solusi karena sang kritik tugasnya hanyalah mengungkapkan negativitasnya.
III. MATINYA SANG KRITIK
Masyarakat tanpa kritik adalah suatu masyarakat yang sementara menuju kehancuran total. Kematian sang kritik adalah petanda bahwa masyarakatnya mengalami penyakit dalam yang sangat serius seperti manusia yang kehilangan kekebalan tubuh. Karena dalam tubuhnya sudah bersarang virus yang tidak terlihat namun pasti akan menghancurkan totalitas organisme itu.
Kematian sang kritik bisa dalam arti kematian jiwa[9] (spirit) dan juga kematian biologis. Yesus sang kritik yang disalib karena mengungkapkan kesalahan tradisi-tradisi keagamaannya. Penyaliban Yesus adalah simbol pengertian kematian biologis (asketisme) tapi semangat pemberitaan yang diwarisi oleh murid-muridnya bisa bertahan dalam waktu dua ratus tahun dalam kondisi tertekan dan rawan penyiksaan. Bahkan beberapa muridnya pun dibunuh lebih sadis karena menyebarkan kabar tentang pembebasan terutama untuk kaum budak. Kematian sang kritik justru mendorong perlawanan dan pengungkapan yang lebih bersemangat dan asketis. Kematian sang kritik dalam konteks ini ada dalam sebuah sistem pemerintahan yang tidak demokratis.
Kebebasan untuk mengungkapkan pendapat dalam negara demokrasi pun tetap saja mendapat halangan-halangan. Oleh karena tidak semua orang paham dan mau menerima kritik terlebih jika memang ada kejahatan dan kesalahan yang dilakukan secara sadar. Indonesia mungkin adalah percontohan yang tepat untuk konteks anti-kritik dalam negara yang didasarkan atas hak setiap individu untuk berpartisipasi dalam politik[10]. Sejarah demokrasi Indonesia terkait dengan pembredelan pers, pelarangan seni yang mengandung kritik politik, dan pengamanan serta penghilangan aktivis-aktivis. Dalam negara ini ada upaya pembunuhan tradisi kritik secara sistematis bahkan dalam pendidikan formal. Maka tidak heran para guru, dosen, doktor, profesor dan segala jabatan akademis lainnya; mereka memperlakukan kebenaran ilmiah seperti kebenaran wahyu yang terberi (given). Mereka juga bekerja sama dengan agama-agama yang telah dirasuki oleh praktek-praktek eksploitasi untuk mendidik orang tentang kepasrahan nasib.
Universitas sebagai strata lembaga pendidikan tertinggi hari ini tak lebih dari koridor untuk menciptakan budak dengan keterampilan seadanya. Sarjana-sarjana diproduksi untuk dipekerjakan di tempat yang sudah disediakan dengan liturgi-liturgi. Dengan demikian fungsi otaknya hanya seperti sebuah partisi dalam memori komputer yang hanya menjalankan kerja sesuai fungsi perangkat tanpa adanya kesadaran untuk melihat sesuatu di luar dari apa yang diprogramkan untuk dirinya. Intelektual-intelektual mengabdi pada kepentingan pemerintahan yang juga berselingkuh dan pemodal atau bahkan pemerintah itu sendiri adalah pemodal. Oleh karena dalam bisnis yang terbentur dengan regulasi maka menjadi penting juga bagi para pebisnis untuk merebut jabatan-jabatan politik strategis (penentu kebijakan).
Benni E. Matindas[11] menyebut mahasiswa di universitas setara dengan kelas 4 SMA karena kurangnya daya kritik dan kreasi. Mahasiswa yang seharusnya sudah produktif secara intelektual malah menjadi seperti siswa-siswa yang dibimbing oleh guru-guru sekali pun semua yang didiktekan salah dan kurangnya kadar ilmiah dan filosofis. Universitas yang harusnya menjadi gudang penemuan dan pencari solusi terhadap persoalan justru menjadi bermasalah. Pada ujungnya kita akan mendapati di dalam lembaga ini tinggallah para anti-kritik yang sama persis dengan para anti-kritik di dalam pemerintahan yang dengan sengaja membuat kesalahan-kesalahan untuk mendapatkan uang. Di Sulawesi Utara ada beberapa universitas yang bermasalah karena perebutan jabatan yang dianggap sebagai kekuasaan yang dapat menghasilkan uang dan beberapa sisanya lembaga penjual ijazah. Universitas Kristen Indonesia di Tomohon (Ukit), Universitas Samratulangi (Unsrat), dan Universitas Negeri Manado (Unima) adalah tiga universitas yang ditimpa bencana karena perebutan jabatan kekuasaan yang target utamanya adalah soal uang dan bukan dalam rangka memajukan kualitas akademik, penemuan ilmiah, atau melahirkan karya-karya monumental. Perebutan kekuasaan seperti itu di lembaga pendidikan adalah cerminan bahwa betapa praktek anomali dalam perebutan kekuasaan politik telah masuk dalam lembaga-lembaga pendidikan. Budaya korup tetap eksis dalam Era Reformasi sampai Revolusi Mental.
Sejarah pers di Indonesia adalah kritik terhadap kolonialisme dan propaganda kemerdekaan. Tetapi sejak zaman kolonial keberpihakan pers terhadap pemerintahan dan pemodal memang sudah ada. Karena memiliki fungsi kritik dan mampu membentuk opini publik maka pers menjadi penting bagi kekuasaan anti-kritik. Di masa pemerintahan yang mengabaikan demokrasi pembredelan pers sering terjadi dengan menggunakan kekerasan atau intimidasi melalui teror. Tetapi hari ini uang tutup mulut lebih ampuh untuk membunuh pers sebagai sang kritik. Budaya kapitalisme merubah pers menjadi perusahan profit oriented sehingga uang bisa menunda, memperhalus, dan tidak menerbitkan berita-berita tentang kejahatan dan kesalahan birokrasi pemerintahan. Pers hidup dari kemampuan memanipulasi berita-berita yang dikonsumsi masyarakat luas. Inilah budaya yang dibentuk oleh kapitalisme yang terjebak dalam fetisisme (pemberhalaan) uang. Apapun yang dapat mengungkapkan kebenaran dapat juga menyembunyikan kejahatan[12].
Sang kritik mati ketika dia masuk dalam ranah jual-beli dan tawar-menawar seperti yang dilakukan oleh para pemimpin yang mengatasnamakan perjuangan terhadap kaum lemah dan yang tertindas. Kritik diubah menjadi komoditas yang bisa dipertukarkan dengan hal yang dianggap sepadan seperti uang atau jabatan; sangat bergantung pada bobot ancamannya terhadap objek kritik. Pimpinan parpol, LSM, Non-Government Organization (NGO), ormas, dan komunitas memanfaatkan kritik untuk posisi tawar (bargaining position) yang menguntungkan. Sang kritik diperjual-belikan, disalibkan, dibunuh dan dikuburkan oleh budaya yang berkuasa.
IV. BANGKITNYA SANG KRITIK
Benarkah sesudah kematian ada kebangkitan seperti yang diwartakan oleh para agamawan? Apakah dengan kematian sang kritik maka akan diikuti pula oleh kebangkitannya? Para sang kritik yang telah menjadi martir dengan kematian biologis mereka justru membangkitkan semangat kritik terhadap para pengikutnya. Yesus, Che Guevarra, Lenin, Marx, Nietzsche, Socrates, Soe Hok Gie, Tan Malaka, Aidit, Trotsky, Rosa Luxemburg, dan para martir lainnya adalah sang kritik. Mereka mati dengan konsistensi pemikiran mereka dan mewariskan semangat kritik. Jadi kebangkitan sang kritik ditandai dengan kematian kritik itu sendiri. Para penerus sang kritik akan mati pula dan menjadi cikal bakal kebangkitan kritik baru.
Kegagalan solidaritas kaum buruh untuk menumbangkan rezim kapitalis yang berkuasa membuat kaum marxis memandang pentingnya peran intelektual. Posisi penting intelektual adalah membangun kesadaran massa untuk memperlihatkan bagaimana mereka dieksploitasi. Dengan adanya upaya pembunuhan tradisi kritik yang dilakukan lewat menaikkan biaya pendidikan dan menurunkan kualitasnya maka kesempatan mendapat pendidikan mengecil dan yang mendapat kesempatan pun tidak memiliki daya kritik yang memadai. Materi-materi dalam pendidikan sangat menghindari kebangkitan sang kritik sehingga referensi kritis dan ketersediaan buku sengaja dibatasi. Universitas adalah harapan bangkitnya intelektual yang murni dan menjadi pionir dalam gerakan pencerahan. Dengan adanya diskusi-diskusi alternatif di luar kurikulum kuliah maka kesadaran kritis akan mampu bangkit. Yang kita butuhkan adalah generasi-generasi mutan (mutasi genetik) yang tidak mewarisi gen sosial dari budaya korup tetapi memiliki kelebihan-kelebihan yang dapat merubah tatanan lama dan menciptakan yang baru.
Segala sistem sosial mengandung anak-anak yang sosial yang mengalami mutasi genetika (gen sosial). Feodalisme tidak menyangka dirinya mengandung kapitalisme yang menghancurkan dirinya. Begitu pun kapitalisme, dia sementara mengandung anak-anak yang akan membunuh orang tuanya. Mungkin ini seperti halnya kisah tentang mitologi dewa-dewa Yunani yang anak-anaknya diramalkan akan memberontak dan membunuh ayahnya sehingga untuk mencegah hal itu dia menelan semua anaknya kecuali Zeus yang selamat dan pada akhirnya menggenapi ramalan itu. Atau cerita tentang Herodes yang membantai bayi-bayi karena ramalan bahwa bayi yang baru saja lahir akan menjadi raja yang mengancam posisinya. Jadi biar pun kapitalisme berusaha membunuh semua kritik yang ada yang menjadi ancaman eksistensinya, tetap akan ada yang luput dari pandangannya ada akan tumbuh untuk menghancurkannya. Ini mungkin bisa disebut sebagai keniscayaan sistem sosial yang melahirkan pemberontak-pemberontak untuk dirinya sendiri.
Sang kritik akan terlahir walaupun tidak diinginkan oleh ibunya dan akan tumbuh besar dan suatu hari akan membunuh ibu yang melahirkannya. Keadaan sosial akan membentuk kesadaran manusia dan pada akhirnya kesadaran juga yang akan menentukan keadaan. Prinsip dialektika yang dikemukakan oleh Karl Marx (1818 – 1883) adalah suatu proses dialektis yang melibatkan kesadaran bahwa hukum pertentangan materi negasi dari negasi, saling pengaruh antara dua hal bertentangan, dan pergeseran dari kuantitas menuju kualitas[13]. Dengan bertumpuknya masalah dalam sebuah sistem sosial maka kehancurannya semakin dekat dan puing-puing kehancuran itu akan dibangun sebuah tatanan sosial yang baru.
Sang kritik selalu mengalami reinkarnasi untuk terus menjalankan tugasnya dalam kehidupan manusia. Dia lahir dari zaman yang membutuhkannya, kondisi yang memaksa dia harus lahir; bangkit dari kematiannya. Sang kritik akan dicemooh, ditolak, tidak diakui, diasingkan, atau dipenjara, sebab itulah takdirnya sebagai pengungkap dan pewarta kebenaran tentang sisi-sisi gelap kekuasaan. Kritik dikandung dari keadaan sosial, dia adalah anak yatim ketika dia lahir ke dunia.
Tetapi dengan adanya pandangan positivitas kritik maka akan ada orang tua yang akan mengadopsi sang kritik. Dalam konsep keseimbangan Taoisme segala sesuatu disimbolkan dalam yin dang yang; bahwa kegelapan memiliki titik terang dan juga sebaliknya. Ini juga mendasari bahwa dalam negativitas ada titik positif dan dalam positivitas ada titik negatif. Marxisme sebagai kritik tetap dipertahankan dalam lembaga Frankfurt sebagai alat bedah atau dasar penyusunan teori sosial baru (metateori). Dengan kehadiran marxisme sebagai kritik yang dirangkul maka kapitalisme membenah dirinya dari negativitas yang mengancam eksistensinya. Atau mungkin seperti argumentasi Karl Popper dalam bukunya The Open Society and Its Enemies yang memandang kehadiran kritik untuk menambal lubang-lubang dalam masyarakat liberal. Sang kritik dikendalikan untuk kepentingan objek kritik itu sendiri yang tidak berlaku lagi sebagai anti-kritik.
V. MASYARAKAT KRITIS
Ambiguitas kata kritis membuat kita bisa memilih apakah masyarakat kritis dalam pengertian semakin buruk keadaannya ataukah masyarakat kita memiliki daya atau kemampuan melihat keburukan, kesalahan, dan kejahatan dari negara. Dalam pengertian pertama masyarakat kita sedang mengalami krisis karena kurangnya kemampuan evaluasi yang bisa melihat kesalahan-kesalahan yang ada. Kedua, masyarakat yang dengan keterbukaan menerima kritik dan memanfaatkan kritik itu untuk mengembangkan diri (open minded society).
Masyarakat kritis akan ada jika pendidikannya maju dan manusianya mendapat kesempatan pendidikan yang sama. Dalam hal ini mentalitas masyarakatnya, meminjam istilah psikoanalisis Freud, telah malampaui ego atau telah berada pada tahap super-ego. Sehingga kehadiran kritik akan dipandang dari sisi positivitanya bukan dipandang untuk menghancurkan tetapi sebagai bahan evaluasi untuk memperbaiki kesalahan. Di mana juga subjek-subjek dalam masyarakat kritis bukan hanya menjadi sang kritik tetapi juga menajadi penerima kritik itu sendiri.
Kesadaran kritis individu-individu dalam suatu masyarakat akan membuat kegiatan kritik sebagai aktivitas simbiosis mutalisme. Kritik menjadi sesuatu yang dibutuhkan untuk menyempurnakan diri, kelompok, atau masyarakat luas. Tentunya kritik dalam masyarakat yang memiliki mentalitas super-ego tidak mendasarkan kritik pada prasangka saja. Objek kritik pun harus bertindak kritis tentang kritik yang diterimanya untuk menguji kebenaran kritik itu sendiri. Tetapi bukan membuat apologi muluk-muluk untuk membela diri tapi sebuah tanggapan kritis terhadap kritik yang diterimanya. Kerena ada kalanya kritik hadir dengan prasangka atau tidak didasari oleh materi yang memadai sehingga kehadiran kritik tidaklah objektif.
Kritik harus memiliki patokan kebenaran untuk mengungkapkan kesalahan-kesalahan dari sesuatu. Misalnya, kritik terhadap masyarakat perbudakan dan feodal didasarkan pada pemahaman bahwa semua manusia memiliki derajat yang sama tanpa perbedaan warna kulit atau strata sosial. Atau, kritik terhadap penyelenggaraan pemerintahan dan kebijakan politik harus di dasarkan pada kebenaran-kebenaran aturan, asas, ideologi, dan perundang-undangan yang ada atau patokan kebenaran yang lain yang dianggap lebih ideal.
Habermas percaya bahwa demokrasi hanya dapat diwujudkan dengan memperluas komunikasi untuk mencapai kesepahaman bersama. Dulu orang menganggap bahwa mustahil terwujudnya demokrasi[14] yang melibatkan semua masyarakat dalam sebuah musyawarah. Apalagi dalam konteks negara yang memiliki populasi penduduk yang sangat banyak sehingga sistem perwakilan suara harus diterapkan. Tetapi dengan berkembangnya teknologi yang bisa menampung jutaan orang untuk ikut terlibat dalam satu diskusi wacana seperti yang dipraktekkan hari ini dalam media sosial. Telekomunikasi semakin murah dan pengurangan biaya transportasi dengan adanya phone call dan video call. Sosial media menjadi wadah aspirasi yang sangat efektif dan dengan cepat bisa membaca kehendak masyarakat (netizen). Walaupun ada banyak penyalagunaan juga terhadap fasilitas internet yang merugikan banyak orang.
Liberalisme yang diidentikkan dengan demokrasi mendapat kritik dari Joshep Schumpeter (1883 – 1950) karena menurutnya demokrasi dalam kapitalisme adalah demokrasi borjuis. Dia berpendapat bahwa demokrasi sejati hanya ada dalam masyarakat sosialis karena kapitalisme membeli suara dan memanipulasi demokrasi. Keterwakilan dalam parlemen adalah hasil jual beli suara sehingga aspirasi rakyat dalam konteks ini sama sekali tidak ada. Segala macam kebijakan politik adalah rancangan kaum kapitalis dengan kepentingan modalnya. Max Weber (1864 – 1920) membicarakan hal ini jauh sebelumnya tentang plutokrasi; masyarakat yang dikendalikan oleh kekayaan. Dari pimpinan desa sampai pimpinan negara adalah orang yang berpengaruh secara ekonomi yang mampu membeli suara rakyat dan mengarahkan kehendak mereka (parvenue).
Perwujudan masyarakat kritis akan sangat bergantung pada kualitas pendidikan dan kesempatan mendapat pendidikan masyarakatnya. Tetapi jika pendidikan dianggap sebagai boomerang rezim yang berkuasa sehingga ada upaya pelemahan dan pemberangusan daya dan tradisi kritis maka rakyat perlu membuat pendidikan alternatif untuk dirinya sendiri.
================================================
[1] Kritik yang dimaksud dalam konteks ini adalah kritik sosial terkait dengan sistem sosial yang menghadirkan kekuasaan atau lazim disebut politik. Kritik politik sejatinya adalah kritik terhadap sebuah kebijakan (policy) dari yang berkuasa (decision maker).
[2] Dalam Bahasa Minahasa kateluan berasal dari kata dasar telu yang berarti tiga (jumlah/kuantitas).
[3] Human sacrifice dalam masyarakat komunal kolektif adalah pengabaian terhadap keunikan individu dan hak-hak individual. Pengambilan budak manusia dan perempuan-perempuan untuk dijadikan gundik dan selir bagi sang raja adalah kasus yang sama. Dalam hal ini kekuasaan masyarakat kolektif yang semena-mena merupakan pengalaman traumatik sehingga para penganut liberalisme berusaha mengidentikan komunisme dengan masa lalu masyarakat kolektif.
[4] Kritik terhadap kekristenan sudah termasuk kebudayaan Israel dan kaum Yahudi (Kristen-Yahudi) serta kebudayaan gabungan antara tradisi kristen dan budaya Roma (Kristen-Romawi) sebagai alat kekuasaannya.
[5] Karya aslinya berjudul Also Spract Zarathustra. Dalam terjemahan lain disebut Zoroaster; Nietzsche mengambil nama Zarathustra ini dari sebuah kepercayaan di Timur Tengah yang memandang bahwa realitas dikendalikan oleh dua kekuatan baik dan jahat.
[6] Sistem ekonomi campuran John Meynard Keynes adalah sinkritik dari ekonomi Marx dan teoritisi ekonomi liberal. Bandingkan juga dengan karya-karya dari mazhab Frankfurt seperti Adorno, Horkheimer, dan Habermas.
[7] Istilah yang digunakan masyarakat Manado yang merujuk pada orang yang suka bergunjing.
[8] Periksa bukunya Jurgen Habermas (1929 – ….) yang berjudul Ruang Publik: Sebuah Kategori Masyarakat Borjuis.
[9] Jiwa yang dimaksud di sini bukan dalam pengertian ‘ruh’ seperti dalam kepercayaan agama-agama (soul) tetapi menyangkut semangat atau gairah yang menghidupkan.
[10] Partisipasi politik bukan hanya soal memberikan suara dalam pemilu tetapi juga ikut dalam menentukan kebijakan politik. Apalgi dengan teknologi hari ini yang dapat menampung semua aspirasi dengan cepat dan mudah lewat media sosial internet.
[11] Filsuf berdarah Minahasa yang telah menulis sejumlah buku filsafat politik, ekonomi, dan karangan lainnya; salah satu buku pentingnya berjudul Negara Sebenarnya.
[12] Seperti apa yang dikemukakan oleh Umberto Eco dalam bukunya tentang semiotika bahwa tanda dapat dipakai untuk mengungkapkan kebenaran dan juga sebaliknya ia dapat dipakai untuk kebohongan.
[13] Sebagaimana juga dijelaskan oleh Engels yang membedakan dengan dialektika sebelumnya yang dilandasi pada dialektika materil tanpa adanya perubahan kualitas kesadaran.
[14] Polity lebih ideal daripada demokrasi karena dalam skala kecil semua orang dapat dilibatkan untuk mengambil keputusan sementara demokrasi diterapkan dalam masyarakat yang luas seperti negara yang jumlah penduduknya lebih banyak. Dalam konteks bermusyawarah tradisional tidak memungkinkan menampung semua warga negara dalam sebuah auditorium.