Juni 3, 2023
Tabea waya… Syalom… Merdeka!!!
Beberapa minggu terakhir, masyarakat Sulawesi Utara, termasuk Minahasa Selatan dan Minahasa Tenggara sedang dihadapi pada kondisi yang tidak menggembirakan, yakni turunnya harga kopra. Sudah begitu parahnya, harga kopra yang jatuh di titik terendah ini sehingga nampaknya warga masyarakat sudah panik. Hal ini sangat beralasan karena, bulan November akan sagera berakhir dan masuk pada bulan Desember di mana kebutuhan akhir tahun sudah menunggu.
Karena itu, menjadi wajar, setiap kali postingan admin halaman Sandra Rondonuwu, tentang kegiatan dan program saya sebagai Calon Anggota Legislatif (Caleg DPRD Propinsi Sulut Dapil V Minsel dan Mitra dari PDI Perjuangan), selalu ditanggapi dengan pertanyaan atau disangkutpautkan dengan harga kopra, meskipun kadang postingan itu sama sekali diluar konten dan konteks harga kopra.
Atas dasar itulah, saya terpanggil untuk memberikan masukannya. Pertama, sebagai Caleg yang maju bertarung untuk kursi DPRD Sulut dan kedua, saya yang adalah anak petani bahkan sekolah, kuliah, dan dibesarkan dari hasil penjualan kopra. Hingga hari ini, masih memiliki kebun kelapa yang pasti dikopra setiap kwartalnya.
***
Terlebih dulu, mari kita bahas apa itu kopra. Kopra adalah produk turunan kelapa yang dibuat menjadi produk akhir yakni daging kelapa yang diasap sehingga menjadi daging kelapa panggang kering dengan toleransi kadar air tertentu, 6-7%, dengan aroma khas. Kopra ini lalu, menjadi bahan baku untuk dibuat minyak. Adapun jenis produk turunan kopra antara lain, Crude Coconut Oil (CNO) dan bungkil  yang dibutuhkan untuk berbagai industri. Mari kita lihat berapa jumlah ekspor kita;
Pertama bahan baku teknis dan industri non pangan superti, farmasi, pembuatan sabun, kosmetik dan banan bakar bio diesel.
Kedua, bahan baku untuk industri pangan seperti, minyak goreng, mentega, dan aneka kebutuhan pangan lain. Dua jenis bahan baku ini kebanyakan diekspor ke Eropa, India, dan China. Dan kebutuhan CNO yang cukup besar antara lain ke Belanda nilai kuran lebih 10.000-15.000 ton per tahun, atau setara dengan 7-12 triliun.
Ketiga, bungkil. Ini juga merupakan produk turunan kopra yang sangat diminati dan sudah dieskpor ke negara-negara seperti singapura, India, China, Pakistan, dll sebagai bahan baku pakan ternak, dengan total nilai ekspor kurang lebih 1-2 triliun rupiah.
Dari semua produk turunan kelapa, yang mayoritas dibuat Kopra, dari Sulawesi Utara, setiap tahunnya, mengekspor kurang lebih 28 triliun per tahun.
***
Beberapa fakta tentang Kopra. Produk ini adalah komoditas andalan utama petani kelapa sejak jaman Belanda. Memang petani lebih nyaman membuat kelapa menjadi Kopra karena hanya Kopra yang menyerap hasil produksi petani kelapa secara massal. Walaupun secara keseluruhan produk turunan kelapa ada banyak.
  1. Kopra (CNO/Crude Coconut Oil dan bungkil)
  2. Kopra Putih
  3. Desiccated Coconut (DC)
  4. Virgin Coconut Oil (VCO)
  5. Minyak goreng (Crude Cooking Oil/CCO)
  6. Kelapa muda
  7. Sabut kelapa
  8. Charcoal (orang tempurung)
  9. Nata De Coco (air kelapa)
  10. Tepung Kelapa
  11. Coco milk
  12. Dll. (konon bisa mencapai 100 produk turunan)
Dari sini, jelas kita melihat bahwa, 99% petani kelapa bergantung pada produk turunan kelapa yakni, kopra. Dengan demikian, maka petani tidak banyak pilihan apabila terjadi fluktuasi harga Kopra. Dan hari ini membuktikan, petani kopra kesulitan dan menjerit. Meski, walaupun dalam jumlah yang sangat kecil, 0%, pedagang kelapa muda terus menjual kelapa muda dengan harga 7.500/buah dengan margin yang cukup besar.
Begitupun dengan produk-produk turunan kelapa lainnya, yang sayangnya tidak lebih dari 1% dari total produksi kopra.
Fakta kedua, biaya produksi petani kopra yang sangat tinggi. Dari hasil penjualan kopra, pemilik kelapa hanya mendapat kurang lebih 50% dari pendapatan dan 50% lainnya menjadi miliki buruh pembuat kopra. Itupun harus dipotong lagi dengan biaya-biaya lain seperti transportasi, konsumsi, dll. Dengan demikian, maka bila harga kopra mencapai 1juta per ton, maka uang yang akan didapat oleh pemilik kelapa adalah 500.000/ton saja. Dan mayoritas petani kelapa di Minsel melakukan pola ini.
Lebih buruk lagi, kelapa yang akan dipanen bahkan 1 tahun kedepan, sudah digadaikan kepada pedangan kopra, sehingga kebanyakan para petani sudah tidak lagi mendapatkan hasil ril, karena berbagai masalah mulai dari bunga pinjaman sampai pada kadar air yang tidak sesuai dengan kenyataan.
Ini adalah sebagian kecil dari banyak sekali masalah, belum lagi bicara busuk pucuk, dan kualitas pembuatan kopra yang selalu punya ceritanya masing-masing.
***
Atas dasar pengalaman empirik itulah, maka selaku pemiliki kebun kelapa yang sangat kecil ini, saya menyarankan beberapa soluasi. Yakni;
Pertama, siapkan perusahan daerah (Perusda), seperti PD. Cita Waya di Minsel, yang diperkuat dulu fondasi bisnisnya. Menjadi perusahan yang sehat, kemudian diberikan dana (kekayaan negara yang disisihkan) yang dijamin oleh undang-undang, untuk melakukan bisnis, layaknya perusahan BUMD atau BUMN. Selain itu, siapkan pula koperasi-koperasi tingkat desa, bahkan Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) untuk melakukan beberapa kegiatan bisnis produk turunan kelapa. Nah, BUMD ini harus mampu mempelajari fluktuasi harga kopera. Di titik paling rendah, BUMD ini harus bisa mengcover dengan buy lost atau beli rugi.
(Lihat tabel 1)
Pada tabel data harga kopra yang diambil dari website: https://www.indexmundi.com/commodities/?commodity=copra&months=120 , jelas terlihat harga terendah pada bulan april 2009 kopra jatuh pada harga $395.2 /ton, pada April 2011 naik 400% hingga ke harga $1.460/ton. Seperti kejadian sekarang ini, di April 2018, harga masih di $600/ton dan bulan november (https://ycharts.com/indicators/philippines_indonesia_copra_price),
Fluktuasi harga itu selalu akan bergerak setiap 3-6 bulan. Walaupun ini memang tidak selamanya stabil. Pada titik inilah, pemerintah bersama dengan petani menentukan harga terendah. Misalnya, harga beli rugi perusahan (cut loss) di level 5.000 di atas harga pasar 4.000. Dan harga dibayar 50% dari harga cut loss, nanti dilunasi setelah harga bergerak naik kembali. Cara ini superti sistem resi gudang. Ini bisa dibicarakan lebih detail lagi dan sesuai dengan kesepakatan-kesepakatan. (Sebagai pemerintah harus berani mengambil langkah ini).
Kedua, pemerintah mendorong untuk melakukan diversifikasi produk dengan membuka insentif bagi perusahan yang ingin bergerak di bidang, desiccated coconut, minyak goreng (crude cooking oil), virgin coconut oil (VCO), susu kelapa, tepung kelapa, nata de coco, sabuk kelapa, charcoal, dsb. Sehingga dalam 1 butir kelapa nilai ekonomisnya tidak didominasi oleh 99% harga kopra. Khusus untuk minyak goreng kelapa murni (crude cooking oil) di setiap desa, disiapkan BUMDES yang membuat minyak goreng olahan sehingga bisa memenuhi kebutuhan masyarakat desa. Ini harus disertai dengan semangat menyelamatkan petani kelapa dan hidup sehat, karena sejatinya, minyak kelapa lebih sehat dibanding minyak sawit. Secara simultan, harus didorong pula ekspor produk non kopra.
Ketiga, melakukan MoU dengan semua perusahan untuk bersedia membeli dengan harga wajar walaupun harga dunia sedang anjlok. Tapi nanti bisa dikompensasi ketika harga naik. Di sini, pemerintah biasanya menyiapkan dana talangan, dan di era sekarang ini sangat rentan korupsi dan ini menjadi incaran KPK.
Keempat, adalah membuka sebesar-besarnya investasi asing bagi perusahan yang ingin melakukan eksport sehingga terjadi persaingan harga yang baik untuk petani kelapa, tentu dengan segala macam konsekwensi yang ada.
Kelima, adalah memberikan insentif pajak bagi eksportir, khusus ketika harga jatuh (tax holiday), tapi ini butuh mekanisme regulasi dari Pemerintah pusat.
Sejauh ini, secara common sense ini yang saya bisa tawarkan sebagai petani yang merasakan langsung penderitaan petani kelapa. Demo dan tuntunan lain bisa dilakukan sebagai cara untuk mendorong agar semua pihak peduli. Tapi, apapun harga kopera dan CCO mengikuti harga internasional karena 90% produk kopera itu adalah eksport. Di titik ini, bahkan Bank Dunia ataupun Donnald Trump tidak bisa melakukan intervensi. Ini konsewensi kita menjadi bagian dari warga dunia. Maka kita tunduk pada mekanisme pasar bebas berdasarkan supply dan demand.
Kalaupun semua ini kita lakukan, maka hasilnya belum bisa diperoleh dalam hitungan hari, minggu, dan bulan. Ini bertahun-tahun. Kalau seandainya, diawal terpilih pemerintah sudah bisa menyiapkan perusahan daerah, harusnya sekarang sudah bisa action. Tapi apa daya, kita masih berpolemik. Dan kami bukan mentang-mentang sebagai caleg lalu mampu menyelesaikan harga kopra. Kita semua peduli, tapi kita harus punya solusi cerdas. Dan kurang lebih inilah yang bisa saya tawarkan sebagai warga masyarakat biasa, yang menjadi pemikiran pribadi, serta sebagai caleg yang belum punya kekuasaan apa-apa.
Pakatuan wo pakalawiren.. Endo Leos.
Tabea.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *