Mei 28, 2023

Oleh: Jusuf Kalengkongan

Ketika kita bercerita dan mendengar cerita dari orang-orang tua yang sudah berumur di atas 60 tahun, yang pernah tinggal di sepanjang teluk Manado, kita akan terkagum-kagum dengan kesaksian mereka tentang suatu waktu di antara  Juli, Agustus ke November setiap tahun. Di bulan-bulan itu akan tersaji konvoi dan atraksi “ikang paus”, ‘ikang lumba-lumba’, ‘gorango bintang’ dan contoh lainnya yang memberi hiburan kepada masyarakat di teluk Manado.

Mereka datang karena banyak ikan kecil dalam rantai makanan dan plankton yang tersedia begitu melimpah di teluk Manado. Begitu pula, jika masyarakat di teluk Manado saat itu ingin memancing ikan, ikan akan dengan mudah didapatkan dari sepanjang pantai Malalayang sampai ke Molas. Teluk Manado indah dan permai. Seperti lagunya Medinos “Oh Pantai Manado… Indah Permai… Sungguh indah hiasan alam“.

Apa yang terjadi saat ini dengan Teluk Manado? Semua kenangan Opa dan Oma dulu masih bisa kita temui di teluk Manado dalam wujud yang lain. Kenapa? Sudah banyak pengganti biota laut yang ada disana, yang menempati dan bisa dengan mudah kita jumpai di pantai Manado sepanjang tahun. Mereka adalah ikang Hypermart, ikang Freshmart, ikang Galael, ikang Jumbo, ikang Alfamart, ikang  Indomart. Dan sedikit lagi, kita akan jumpai dengan pasti, ikang Carefour yang berenang-berenang di laut teluk Manado. Untuk sejenis “plankton” dan yang tinggal di permukaan air, ada banyak sekali, seperti botol Aqua, Club, Prima, Vit, Ake, Asegar dan lain-lainnya. Apakah, dengan adanya semua itu, kita masih terkagum-kagum dengan kekayaan alam Teluk Manado saat ini?

Perilaku masyarakat Sulawesi Utara, sejak massal-nya penggunaan plastik di akhir dekade 1980 sampai detik ini, telah dengan sukses merubah biota laut yang ada di teluk Manado dan sekitarnya. Kembali ke perilaku masyarakat yang dahulunya pengguna bahan-bahan alami dan menggunakan daun woka, daun pisang dan daun nasi sebagai wadah untuk membungkus dan membawa makanan dan sejenisnya yang biasanya dibuang begitu saja, terlebih ke sungai, beralih ke tas plastik dan sejenisnya yang tidak bisa diuraik oleh alam dalam waktu yang singkat. Perilaku ini yang tidak dan belum disadari oleh mayoritas masyarakat di Manado, Minahasa Utara, Tomohon dan Minahasa. Mereka belum menyadari bahwa membuang sampah sembarangan di era plastik ini sangat berbahaya.

Apa yang harus kita lakukan dengan situasi seperti ini? Pendidikan kesadaran lingkungan dari diri sendiri, pemerhati ‘kesehatan masyarakat dan lingkungan’, praktisioner hidup sehat, ‘living green’ dan tentunya elemen pimpinan adat, agama dan pemerintahan harus dengan sabar dan telaten mengingatkan untuk merubah perilaku hidup agar mencintai alam dan manusia. Jika semua elemen masyarakat ini mempunyai satu visi agar modal natural kita tidak akan mengalami kerugian, maka kita harus memulai sekali lagi. Kita harus memulai investasi pada modal sosial, modal manusia dan teristimewa modal budaya dari masyarakat kita yang ada di Sulawesi Utara, khususnya yang hidup di teluk Manado dari sekarang.

Untuk mencapai kondisi dan cita-cita ini, dibutuhkan sikap tegas dari pemimpin dan kepemimpinan SULUT.  Pemimpin adat, agama dan pemerintahan harus kesemuanya menyadari akan pentingnya keberlangsungan kehidupan alam dan manusia yang berkesinambungan. (Is)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *